Degradasi Nilai Leluhur dalam Tari Thengul

 

Kesenian tradisional merupakan salah satu warisan yang berasal dari nenek moyang dan telah menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum, suku, ataupun bangsa tertentu. Kehadiran kesenian di tengah-tengah kehidupan masyarakat adalah hasil dari kreativitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik sebagai sarana ritual, sosial, ekonomi, legitimasi penguasa, hiburan, dan sebagainya. Era global sendiri ditandai dengan adanya sentuhan budaya yang berasal dari luar ke dalam ruang lingkup masyarakat tanpa adanya sekat, dan berdampak pada kehidupan budaya serta seni pada suatu daerah maupun negara. Belakangan, memertahankan nilai budaya lokal memiliki tantangan tersendiri karena tingginya pengaruh dari luar. Terutama dengan banyaknya informasi dari dunia di luar komunitas yang dapat dengan diakses dengan seiring dengan fasilitas internet dan arus informasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan akan terjadinya akulturasi budaya bahkan degradasi budaya yang mampu menggerus semua nilai budaya yang berkembang di masyarakat.

Budaya asing sangat mudah masuk dan mendominasi budaya yang ada di dalam negeri, dimana seolah-olah telah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat. Masyarakat berbondong-bondong menggunakan budaya asing karena dianggap lebih mengikuti trend. Sehingga budaya dan seni tradisional mulai terkikis dan sepi peminatnya. Dominasi budaya asing terhadap budaya dan kesenian dalam negeri membuat masyarakat menganggap bahwa kesenian dan kebudayaan tradisional tidaklah mengikuti trend dan cenderung dianggap kuno. Dampaknya sangat terasa dengan banyaknya generasi muda zaman sekarang yang tidak terlalu mengetahui budaya dan kesenian tradisional aslinya.

sumber: merdeka.com


Tari Thengul sendiri pertama kali muncul pada tahun 1991 ketika diselenggarakan festival tari daerah dalam Pekan Budaya dan Pariwisata Jawa Timur. Joko Santoso yang dibantu oleh penata iringan Ibnu Sutawa (alm) oleh pihak P dan K Kabupaten Bojonegoro yang diberikan tugas untuk menyusun sebuah karya tari. Hingga terciptalah Tari Thengul yang pada saat itu masuk dan menjadi salah satu dari berbagai kategori penampilan terbaik di Festival Tari Daerah. Pada tahun 2002, Tari Thengul menjadi salah satu tarian yang tampil pada Pawai Budaya festival seni Bojonegoro. Maka dari itu, disinilah  dinamika dan perubahan yang ada dalam Tari Thengul dimulai dan semakin berkembang dengan mengikuti zaman dan peradaban yang ada

Tari Thengul biasanya akan ditampilkan oleh tujuh orang penari putri dengan memakai kostum dan riasan muka putih seperti boneka. Penari tersebut akan menari layaknya wayang thengul dengan gerakan kaku dan ekspresi yang terlihat lucu, sehingga akan memunculkan kesan humor dan dapat menghibur dalam setiap pertunjukannya. Gerakan dan ekspresi yang dibuat lucu dan patah-patah tersebut menjadi salah satu ciri khas dari Tari Thengul Bojonegoro. Tari Thengul akan dibawakan secara berkelompok dan memiliki karakter komedi. Tari Thengul merupakan gambaran dari wayang thengul yang diperagakan oleh manusia dengan gerakan kaku siku pada gerakan tangan, gerakan tegas pada gerakan kepala, dan dilengkapi dengan tata rias muka putih dengan cunduknya yang mirip seperti boneka. Para penari tidak henti untuk menunjukkan ekspresi senyum sebagai simbol untuk menunjukkan keakraban dalam sebuah hubungan sosial, terlebih lagi dalam kehidupan masyarakat. Pada perkembangannya, Tari Thengul menjadi salah satu identitas atau ikon dari Kabupaten Bojonegoro. Tari ini ditetapkan sebagai tarian untuk memberikan penyambutan bagi tamu di lingkungan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Membicarakan mengenai kesenian tradisional di era global seperti sekarang ini, harus diakui bahwa banyak kesenian yang berbau tradisional sedang mengalami penurunan peminat. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan mengalami perubahan fungsi (Yuliana dkk 2020, Sidik dkk 2021). Di sisi lain masih ada kesenian tradisional yang berupaya eksis untuk mempertahankan keberadaannya, dan bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas oleh proses modernisasi. Hal ini terlihat jelas pada kesenian tradisional berupa Tari Thengul yang berasal dari Kabupaten Bojonegoro. Kabupaten Bojonegoro sendiri merupakan salah satu kabupaten yang berada di Jawa Timur yang khas dan masih kental akan budayanya. Beberapa kesenian tradisional yang berasal dari Bojonegoro, yaitu Sandur, Wayang thengul dan Tari Thengul, Tari Cekak Aos, Tari Khayangan Api, dan Tari Tayub.

Pada perkembangannya, Tari Thengul menjadi salah satu identitas atau ikon dari Kabupaten Bojonegoro. Tari ini ditetapkan sebagai tarian untuk memberikan penyambutan bagi tamu di lingkungan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Masyarakat secara gotong royong dan kompak bersama dengan para pemangku kebijakan di wilayah Bojonegoro melestarikan kesenian tradisional Tari Thengul. Kesenian tradisional tersebut telah menjadi kebanggaan dari segenap masyarakat Bojonegoro. Berkat dari keja sama yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di lingkungan Bojonegoro, Direktoral Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan Thengul dan Kesenian Sandur sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.

Namun dalam era globalisasi, kesenian dari Kabupaten Bojonegoro, khususnya seni tari mulai terancam. Tari Thengul mulai menjadi seni pesanan, dimana nilai-nilai estetik pada Tari Thengul tidak lagi ditentukan oleh pencipta dari karya seni tersebut, tetapi ditentukan oleh pemesan pada suatu acara tertentu. Terjadinya transformasi budaya, dari yang dulunya budaya tradisional kemudian berpindah menuju ke budaya modern sehingga menjadikan individual mampu menciptakan dialektika dan perubahan pada Tari Thengul. Dalam dialektika dan perubahan budaya ini, kesenian khususnya tari tradisional diarahkan pada kebutuhan untuk dapat memenuhi tujuan dari kehidupan manusia. Seni tari akan menjadi tunduk pada kebutuhan manusia untuk ikut serta mensukseskan pariwisata, hingga kemudian Tari Thengul tidak lagi terikat pada nilai dan norma budaya yang telah tertanam sebelumnya, tetapi akan terikat pada kebutuhan pasar yaitu wisatawan (Setyobudi 2020).

 

Sidik, MM., S. Rustiyanti, I. Setyobudi. (2021) Komodifikasi Upacara Ngaras dan Ngibakan Adat Sunda di Kota Bandung. Jurnal Budaya Etnika 4 (2)

Setyobudi, Imam. (2020b). Exoticization of Local and Global Exploitation in West Java Tourism Practice. The Use and Abuse of Diversity: Anthropological Responses to the Threat of Disintegration. 7th International Symposium of Journal Antropologi Indonesia (Proceedings 2019). Jakarta: Departemen Antropologi Universitas Indonesia.

Yuliana, A., I. Setyobudi, S Dwiatmini. (2020). Fungsi Sosial dari Ritual Miasih Bumi Nagara Padang Bagi Masyarakat Kampung Tutugan Desa Rawabogo Kecamatan Ciwidey. Jurnal Budaya Etnika 3 (1)

 

Komentar

Postingan Populer